Dua dekade setelah mengelola Grasberg, masalah berat yang dihadapi PT Freeport Indonesia adalah soal limbah pertambangan dan para pendulang emas liar. Khusus soal limbah, kini ada upaya untuk membuat sirsat (pasir sisa pertambangan) jadi peluang bisnis.
GRASBERG yang dikelola PT Freeport Indonesia diyakini memiliki cadangan emas terbesar di dunia dan ketiga untuk tembaga. Ketika harga emas dan tembaga serta logam lain melonjak seperti sekarang, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, induk PT Freeport Indonesia, mendulang kenaikan penjualan yang luar biasa.Menurut laporan perusahaan yang berkantor pusat di Phoenix, negara bagian Arizona, AS, tersebut, selama tiga bulan pertama 2008 ini, penjualan Freeport melonjak menjadi USD 5,67 miliar atau sekitar Rp 52 triliun. Naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD 2,25 miliar.
Itu baru kinerja selama tiga bulan. Kalau kinerja triwulan I tersebut tetap terjaga, total penjualan tahun ini bisa mencapai Rp 208 triliun. Andalan utama Freeport-McMoRan adalah kontrak karya “gunung emas” di Kabupaten Mimika, Papua, itu. Namun, ibarat madu yang manis, tak sedikit yang berupaya mengais rezeki di dekat area pertambangan Freeport di Tembagapura tersebut. Tak terkecuali orang-orang yang nekat menjadi penambang liar.
Dengan peralatan sederhana, mereka -pendatang maupun lokal Papua- berani mempertaruhkan nasib, bahkan nyawa, demi mencari konsentrat emas. Kebetulan, metode penambangan oleh PT Freeport Indonesia memang tidak bisa 100 persen menangkap konsentrat emas yang ada dalam bijih.
Pemisahan dengan cara pengapungan (floatation) menggunakan bahan dasar alkohol serta kapur untuk menangkap konsentrat emas diperkirakan hanya bisa menangkap 80 persen emas dalam bijih. Akibatnya, ada peluang 20 persen konsentrat emas itu ikut terbuang. Yakni, mulai dari pabrik pengolahan bijih hingga sungai pembuangan tailing (sisa penambangan), yaitu Sungai Otomona.
Dengan lokasi di ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut serta kemiringan sungai yang curam, areal yang ditempati para penambang liar tersebut sangat berbahaya. Pada 5 Mei lalu misalnya, sekitar 20 pendulang liar terkubur longsoran lereng bukit akibat guyuran hujan di Mil 72. Belasan korban ditemukan tewas.
Para pendulang liar tersebut meninggal saat mendirikan tenda di sekitar Sungai Ajkwa. Sungai itu sebelumnya memang merupakan wilayah tempat Freeport membuang 200 ribu ton sirsat per hari. Namun, belakangan, Freeport membuat tanggul dan hanya mengalirkannya ke Sungai Otomona di sebelah timur Sungai Ajkwa. Dengan pilihan itu, Sungai Ajkwa bisa tetap menjadi sumber air bagi masyarakat Papua.
Kasus dengan pendulang emas di sungai tailing tersebut bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, berbagai insiden membuat perusahaan AS itu disorot. Bahkan, para penambang liar tersebut pernah berdemo menutup jalan, sehingga sempat menghentikan operasi PT Freeport.
Penanganan terhadap pendulang emas liar itu memang cukup rumit. Di satu sisi, ada masyarakat yang mencoba mencari nafkah. Pada sisi lain, Freeport harus menjaga areal pertambangan dan meminimalkan faktor-faktor ketidakpastian yang bisa membahayakan seluruh pekerja.
Menyadari keadaan para pekerjanya yang hidup nyaman di Tembagapura bisa memicu kecemburuan, Freeport terus melanjutkan program pengembangan masyarakat.
Salah satunya adalah pelibatan masyarakat adat, terutama Suku Amungme dan Kamoro yang merupakan pemegang hak ulayat terbesar di lokasi kontrak karya. Selain itu, membuat rumah sakit (RS Mitra Masyarakat dan RS Banti) bekerja sama dengan Yayasan Caritas.
Suku Amungme dan Kamoro bisa jadi merupakan salah satu suku terkaya di dunia. Sebab, setiap tahun mereka mendapatkan dana perwalian USD 500 ribu masing-masing suku. Jadi, kedua suku tersebut mendapatkan USD 1 juta yang ditempatkan di Bank Niaga. Dana perwalian itu tidak bisa diambil hingga kontrak karya Freeport selesai. Yang boleh diambil hanya bunganya.
Dana tersebut berbeda dari dana satu persen laba kotor yang dialokasikan untuk pengembangan masyarakat. Dana satu persen itulah yang dipakai untuk memberikan 7.000 beasiswa kepada masyarakat sekitar serta berbagai program lainnya.
Pada 2007, dana satu persen itu mencapai USD 52 juta. Dana tersebut dikelolakan pada lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK).
Selain dua suku tersebut, Freeport mengembangkan program sosial. Yakni, memberdayakan lima suku lainnya di Papua. Jadi, total ada tujuh suku termasuk Amungme dan Kamoro.
Hasil tailing atau sirsat itu memang menjadi problem utama yang dihadapi perusahaan dari Negeri Paman Sam tersebut. Meski diklaim tidak berbahaya, dengan kuantitas 200 ribu ton, limbah pertambangan itu menjadi sangat berbahaya bila tidak dikelola secara baik. Jumlah tersebut cukup untuk menenggelamkan beberapa kampung di Papua.
Geolog Freeport Indonesia Herman Dasril menyatakan, berbagai langkah telah dilakukan Freeport untuk menanggulangi masalah tersebut. Di antaranya, melakukan berbagai kajian mengenai potensi penggunaan sirsat.
Beberapa ruas jembatan dan jalan di Timika, kata dia, mulai menggunakan bahan dasar sirsat tersebut. Yang mutakhir, kantor bupati Timika sedang dibangun menggunakan bahan tailing itu. “Untuk jalan, hanya dibutuhkan semen sedikit. Kualitas jalanan cukup baik,” katanya.
Berdasar pengamatan Jawa Pos, sepanjang jalan mulai Hotel Sheraton Timika hingga Tembagapura, sisa pasir tambang tersebut memang digunakan sebagai bahan baku jalan.
Pertambangan emas dan tailing memang sulit dipisahkan. Berbeda dari Freeport, pertambangan emas Newmont tidak mengalami problem karena pembuangan tailing tersebut dilakukan di wilayah laut dalam.
Problem sirsat itu sebenarnya bisa menjadi peluang investasi bila dikelola dan dimanfaatkan secara benar. Di AS, hasil tailing bahkan digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi dan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. (iwan ungsi/el)